Suatu ketika, di sebuah desa kecil yang dikelilingi oleh bukit dan lembah, hiduplah seorang bocah laki laki berusia enam tahun yang penasaran bernama Leo. Leo memiliki rambut cokelat yang acak acakan, mata hijau berkilau, dan senyuman yang bisa mencerahkan hari siapa pun. Ia menyukai menjelajahi alam, mengejar kupu kupu, dan membayangkan dirinya sebagai seorang petualang hebat. Sementara anak anak lain bermain dengan mainan, Leo menghabiskan berjam jam berjalan jalan di padang dan hutan terdekat, berpura pura sedang dalam misi untuk menemukan harta karun yang tersembunyi.
Suatu pagi yang cerah, Leo terbangun mendengar suara burung berkicau di luar jendelanya. Ia meregangkan tubuh, melihat ke luar ke langit biru cerah, dan merasakan kegembiraan yang aneh di dadanya. "Hari ini terasa seperti hari petualangan!" katanya pada dirinya sendiri. Leo cepat cepat mengenakan baju, memasukkan apel, sandwich, dan kaca pembesar favoritnya ke dalam ransel kecilnya, dan bergegas keluar.
Saat ia berjalan di padang, sesuatu yang tidak biasa menarik perhatiannya. Setengah tersembunyi di rumput adalah sebuah benda kecil yang berkilau. Leo berlutut dan mengambilnya. Itu adalah kompas, tetapi bukan kompas biasa. Permukaannya berkilau seperti emas, dan alih alih arah biasa, ada simbol simbol kecil yang bersinar padanya. Jarum kompas itu berputar liar pada awalnya tetapi kemudian menunjuk dengan tegas ke satu arah.
"Kemana kamu ingin membawaku?" Leo bertanya dengan suara keras. Ia memutuskan untuk mengikuti arah yang ditunjukkan oleh kompas, merasakan campuran kegembiraan dan rasa ingin tahu.
Kompas membawanya ke tepi hutan, tempat yang sudah sering ia jelajahi sebelumnya. Namun saat ia melangkah di bawah naungan pohon pohon tinggi, hutan itu terasa berbeda. Udara dipenuhi dengan aroma pinus dan bunga, dan sinar matahari yang menyaring melalui dedaunan tampak berkilau. Jarum kompas itu bersinar lebih terang, mendorongnya maju.
Ketika Leo berjalan lebih dalam ke hutan, tiba tiba ia mendengar suara kecil. "Tolong! Seseorang, tolong saya!"
Leo berhenti dan melihat sekeliling. "Halo? Siapa di sana?"
"Di sini!," suara itu memanggil.
Leo melihat ke bawah dan melihat seekor tupai kecil terjebak di bawah dahan yang jatuh. Bulu tupai itu cokelat dan berbulu lebat, dan hidung kecilnya bergerak gelisah.
"Oh tidak!" Leo berseru. Ia cepat meletakkan ranselnya dan mengangkat dahan itu dengan sekuat tenaga. Tupai itu meloloskan diri dan melompat ke sebuah batu terdekat. "Terima kasih!" katanya, membuat Leo terkejut.
"Kamu bisa bicara?" tanya Leo, matanya melebar penuh rasa kagum.
"Tentu saja saya bisa," jawab tupai. "Ini adalah Hutan Terpesona. Banyak hal ajaib terjadi di sini. Nama saya Nibbles. Siapa namamu?"
"Saya Leo," katanya, masih mengagumi tupai yang bisa bicara. "Saya menemukan kompas ini, dan ia membawaku ke suatu tempat."
Mata Nibbles bersinar. "Itu bukan kompas biasa. Itu adalah Kompas Terpesona! Hanya muncul bagi mereka yang memiliki hati yang berani dan baik. Ke arah mana ia menunjuk?"
Leo mengangkat kompas, dan jarumnya bersinar, masih menunjuk ke depan. "Ia membawaku lebih dalam ke hutan."
"Kalau begitu, saya akan ikut denganmu," kata Nibbles. "Hutan bisa jadi rumit, dan saya tahu hutan ini lebih baik daripada siapa pun."
Leo senang dengan temannya, dan bersama sama, mereka mengikuti kompas. Tantangan pertama mereka datang ketika mereka mencapai sebuah aliran sungai yang lebar. Airnya jernih dan berkilau, tetapi tidak ada jembatan atau batu batu untuk melintas. Leo melihat Nibbles. "Bagaimana kita bisa menyeberang?"
Nibbles menggerak gerakkan ekornya. "Mari kita minta bantuan bebek bebek. Mereka selalu berenang di sini."
Benar saja, sekawanan bebek melayang di dekatnya. Leo memanggil, "Permisi! Bisakah kamu membantu kami menyeberang sungai?"
Bebek terbesar mendayung mendekat. "Mengapa kami harus membantu kamu?" tanyanya.
"Saya mencoba mengikuti kompas ini ke mana pun ia membawaku," jelas Leo. "Kami sedang dalam petualangan, dan saya rasa ini penting."
Bebek itu mengamati dia sejenak, kemudian mengangguk. "Naiklah ke punggung kami. Kami akan membawamu menyeberang."
Leo naik ke satu bebek sementara Nibbles melompat ke yang lain. Bebek bebek itu berenang dengan anggun melintasi sungai, dan Leo mengucapkan terima kasih mereka saat mencapai sisi lainnya. "Semoga beruntung dalam perjalananmu!" bebek bebek itu mengkuak sebelum berenang pergi.
Kompas menunjukkan mereka menuju semak semak berduri. Semak semak itu tinggi dan lebat, dengan duri tajam yang membuatnya tidak mungkin dilewati. Nibbles ragu. "Ini terlihat rumit."
Leo berpikir sejenak dan kemudian melihat sepasang kelinci yang mengintip dari balik sebuah pohon. Ia mendekati mereka dengan hati hati. "Halo, bisakah kamu membantu kami melewati semak semak ini?"
Hidung kelinci itu bergerak. "Mengapa kami harus membantu kamu?" salah satu dari mereka bertanya.
Leo berlutut. "Karena saya rasa kompas ini membawaku ke sesuatu yang ajaib, sesuatu yang mungkin bisa membantu semua orang. Saya janji akan berhati hati di hutan dan menghormati semua makhluknya."
Kelinci kelinci itu saling bertukar pandang dan kemudian mengangguk. "Kami akan membantu." Mereka menggunakan gigi tajam mereka untuk menggerogoti semak semak, menciptakan jalan sempit bagi Leo dan Nibbles untuk melewati.
"Terima kasih banyak!" kata Leo saat ia dan Nibbles melanjutkan perjalanan mereka.
Akhirnya, setelah merasa berjalan berjam jam, kompas membawa mereka ke sebuah lapangan besar. Di tengah lapangan berdiri sebuah pohon raksasa, batangnya lebar dan tua, cabang cabangnya menjulang tinggi ke langit. Di dasar pohon terdapat pintu emas yang bersinar, dan di atasnya ada simbol yang cocok dengan yang ada di kompas.
Leo mendekati pintu, jantungnya berdebar debar karena kegembiraan. Kompas mulai bersinar terang. "Apa yang harus saya lakukan sekarang?" tanyanya.
"Letakkan kompas di pintu," kata Nibbles.
Leo menekan kompas ke tengah simbol yang bersinar. Pintu itu berderit terbuka, memperlihatkan sebuah ruangan ajaib di dalam pohon. Dindingnya berkilau seperti cahaya bintang, dan di tengah ruangan mengapung sebuah bola kecil yang bersinar.
"Apa itu?" tanya Leo.
"Itu adalah Jantung Hutan," kata Nibbles. "Itulah yang menjaga hutan tetap hidup dan ajaib. Namun belakangan ini, cahayanya mulai memudar. Itulah sebabnya kompas ini membawamu ke sini. Hanya seseorang yang memiliki hati yang berani dan baik yang dapat mengembalikan keajaibannya."
"Apa yang perlu saya lakukan?" tanya Leo.
"Sentuh itu," kata Nibbles. "Dan pikirkan semua kebaikan yang telah kamu lakukan, semua kebaikan dan keberanian yang telah kamu tunjukkan."
Leo menarik napas dalam dalam, mengulurkan tangan, dan meletakkan tangannya di atas bola yang bersinar. Itu hangat dan berdetak, seperti detak jantung. Ia menutup matanya dan memikirkan tentang membantu Nibbles, menyeberang sungai dengan bebek bebek, dan membersihkan jalan berduri dengan kelinci kelinci. Ia memikirkan betapa ia mencintai hutan dan semua makhluknya.
Secara tiba tiba, bola itu mulai bersinar lebih terang dan terang. Cahaya memenuhi ruangan, tumpah keluar ke lapangan dan menyebar ke seluruh hutan. Pohon pohon terlihat lebih hijau, bunga bunga mekar lebih cerah, dan udara dipenuhi dengan suara burung bernyanyi.
"Kamu berhasil!" Nibbles bersorak, melompat lompat. "Hutan ini hidup lagi!"
Leo tersenyum, merasakan kehangatan di dadanya. "Saya sangat senang bisa membantu."
Bola yang bersinar kembali ke tempatnya, dan pintu emas itu tertutup. Kompas berhenti bersinar tetapi tetap hangat di tangan Leo. "Ini untukmu," kata Nibbles. "Sebagai pengingat petualanganmu dan hati baikmu."
Saat Leo berjalan kembali melalui hutan, semuanya tampak lebih cerah dan hidup. Hewan hewan yang telah ia temui melambaikan selamat tinggal, dan pohon pohon tampak membisikkan terima kasih mereka. Ketika akhirnya ia kembali ke rumah, matahari terbenam, melukis langit dengan nuansa emas dan merah muda.
Leo meletakkan kompas di meja samping tempat tidurnya, mengetahui bahwa ia tidak akan pernah melupakan petualangan ajaibnya. Dan saat ia tertidur, ia bermimpi tentang aliran yang berkilau, pohon pohon yang bersinar, dan makhluk makhluk luar biasa dari Hutan Terpesona.
Akhir.