Ia adalah malam yang tenang di desa kecil Everglen, di mana bukit bukit bergulir bertemu dengan langit berbintang. Angin lembut membawa aroma lavender melalui jalan jalan berbatu, dan malam itu terhampar seperti selimut beludru, dihiasi dengan ribuan bintang yang berkilau. Elara, yang berusia dua belas tahun, duduk di ambang jendela rumah kecilnya, menatap bulan. Itu adalah waktu favoritnya dalam sehari ketika dunia menjadi tenang, dan malam tampak hidup dengan rahasia.
Elara adalah anak yang penasaran, selalu mengajukan pertanyaan tentang dunia di luar desanya. Dia mencintai buku, tetapi perpustakaan di Everglen kecil, dan koleksinya hanya terbatas. Namun, imajinasinya tidak memiliki batasan. Dia sering bermimpi tentang negara yang jauh, tentang gunung yang menjulang, lautan yang tak berujung, dan kota kuno yang dibangun dengan marmer dan emas. Tetapi malam ini, saat ia menyandarkan dagunya di tangan, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Sebuah suara lembut yang berbisik melayang di udara, sehalus lagu pengantar tidur. "Elara," katanya, namanya hampir tidak terdengar tetapi tak terbantahkan. Dia terloncat tegak, jantungnya berdegup kencang. Siapa yang memanggilnya pada jam segini? Dia melihat sekeliling, tetapi tidak ada siapa pun, hanya malam itu sendiri, luas dan sunyi.
"Siapa di sana?" dia membisik kembali, suaranya bergetar sedikit.
Bisikan itu datang lagi, kali ini lebih jelas. "Jangan takut, anak. Aku adalah Malam, dan aku membawa kisah dari tanah yang jauh dan luas. Apakah kau ingin mendengarnya?"
Ketakutan Elara mencair menjadi keajaiban. Malam? Berbicara kepadanya? Itu terdengar mustahil, tetapi lagi pula, bukankah dunia penuh dengan misteri? Dia mengangguk antusias, meskipun Malam tidak dapat melihatnya. "Ya, tolong! Ceritakan kisahmu."
"Maka tutup matamu," kata Malam, suaranya hangat dan menenangkan. "Biarkan aku memandu mu."
Elara patuh, dan begitu kelopak matanya tertutup, ia merasakan sensasi aneh yang ringan. Seolah olah ia diangkat lembut dari ambang jendelanya, dipeluk oleh lengan lembut angin. Ketika ia membuka matanya, ia tidak lagi berada di kamarnya. Ia berdiri di padang luas yang diselimuti sinar bulan, dan udara dipenuhi oleh desingan jangkrik dan suara burung hantu yang jauh.
"Di mana aku?" tanyanya, memutar tubuhnya untuk mengamati sekelilingnya.
"Kau berada di Tanah Mimpi," jawab Malam, suaranya seolah datang dari bintang bintang itu sendiri. "Di sini, setiap langkah yang kau ambil akan membawamu ke cerita baru, tempat baru, dan pelajaran baru. Apakah kau siap?"
Elara mengangguk, jantungnya berdegup kencang dengan semangat. "Aku siap."
Kisah Pertama Perpustakaan Terapung
Padang di sekelilingnya berkilau dan bergerak, dan tiba tiba Elara mendapati dirinya berdiri di dek sebuah kapal kayu besar. Namun ini bukan kapal biasa, ia tidak melayang di atas air, tetapi di udara, melayang di antara awan. Layarnya terbuat dari perkamen, dan tali talinya ditenun dari benang emas. Apa yang paling menarik perhatian Elara adalah tumpukan buku yang tak terhitung banyaknya tersusun rapi di setiap permukaan.
"Selamat datang di Perpustakaan Terapung," kata Malam. "Di sinilah kisah kisah terlupakan dunia disimpan."
Elara menyentuh tulang punggung buku buku itu, kagum pada judul judulnya. "Kronik Hutan Bernyanyi," "Rahasia Gua Bercahaya Bulan," "Bahasa Hilang Bintang." Setiap judul tampak lebih menarik daripada yang terakhir.
"Bolehkah aku membacanya?" tanyanya antusias.
Malam tertawa pelan. "Kau boleh membaca satu. Pilih dengan bijak, karena setiap buku mengandung pelajaran."
Elara memindai judul judul tersebut dengan hati hati sebelum memilih sebuah buku kecil yang terikat kulit berjudul Pembuat Peta Pemula. Ketika ia membukanya, kata kata di halaman mulai bersinar, dan tiba tiba ia terseret ke dalam cerita tersebut. Ia mendapati dirinya berada di sebuah bengkel ramai yang dipenuhi peta dari segala ukuran dan bentuk. Seorang pemula muda, yang tidak lebih tua darinya, sedang bekerja dengan tekun, menggambar garis garis rumit di atas kanvas kosong.
"Siapa kau?" tanya pemula itu, seraya menatap ke atas dengan terkejut.
"Aku Elara," jawabnya. "Apa yang kau lakukan?"
"Aku sedang membuat peta dunia," kata pemula itu, "tetapi ini bukan peta biasa. Peta ini menunjukkan bukan hanya tempat, tetapi juga mimpi dan harapan dari orang orang yang tinggal di sana."
Elara menyaksikan dengan penuh kagum saat kuas pemula itu bergerak di atas kanvas, garis dan bentuk terbentuk seolah olah oleh sihir. "Bolehkah aku membantu?" tanyanya.
Pemula itu menyerahkan kuas kecil kepadanya. "Lukislah apa yang kau bayangkan," katanya.
Elara mencelupkan kuas ke dalam pot tinta yang berkilau dan mulai melukis sebuah tanah jauh yang pernah ia impikan sebuah tempat dengan sungai jernih, gunung yang menjulang, dan desa di mana orang orang hidup harmonis dengan alam. Saat ia melukis, ia merasakan hubungan mendalam dengan dunia dan kemungkinannya yang tak ada habisnya.
Ketika peta selesai, pemula itu tersenyum. "Kau telah melakukannya dengan baik, Elara. Ingat, dunia ini seluas dan seindah imajinasimu."
Gambaran itu memudar, dan Elara mendapati dirinya kembali di kapal terbang. Buku di tangannya telah menghilang, tetapi kata kata pemula itu tertanam dalam hatinya.
Kisah Kedua Bukit Bernyanyi
Kapal itu melarut menjadi kabut, dan Elara mendapati dirinya berada di sebuah gurun di bawah langit yang berapi api dengan bintang. Pasir di bawah kakinya dingin, dan udara dipenuhi dengan melodi yang menawan. Ia mengikuti suara itu sampai ia tiba di sekelompok bukit yang tampak berkilau di bawah sinar bulan.
"Ini adalah Bukit Bernyanyi," jelas Malam. "Setiap bukit menyimpan sebuah lagu, dan setiap lagu menceritakan sebuah cerita."
Elara mendaki ke puncak bukit tertinggi dan menempelkan telinganya ke pasir. Ia mendengar sebuah melodi lembut yang bercerita tentang suku nomaden yang pernah mengembara di gurun. Lagu itu menceritakan tentang keberanian mereka, cinta mereka terhadap tanah, dan kebijaksanaan mereka dalam membaca bintang bintang.
Saat ia mendengarkan, ia merasakan seolah olah ia menjadi bagian dari cerita mereka, berjalan di bawah bintang yang sama, merasakan angin yang sama. Ia menyadari bahwa bahkan di lingkungan yang paling keras, kehidupan berkembang, penuh dengan ketahanan dan keindahan.
Ketika lagu berakhir, bukit itu berkilau dan berbisik, "Bawalah cerita kami bersamamu, wahai yang kecil. Ingatlah, setiap tempat memiliki sebuah kisah, dan setiap kisah memiliki sebuah pelajaran."
Kisah Ketiga Hutan Terpesona
Gurun itu meleleh, dan Elara mendapati dirinya berada di sebuah hutan yang disinari cahaya emas lembut. Pohon pohonnya tidak seperti yang pernah ia lihat, batangnya bersinar samar dan daunnya berkilau seolah terbuat dari kaca.
"Ini adalah Hutan Terpesona," kata Malam. "Di sini, pohon pohon menyimpan kebijaksanaan zaman. Tanyakanlah sebuah pertanyaan, dan mereka akan menjawab."
Elara mendekati pohon terbesar, kulitnya terukir dengan pola yang tampak bergerak. "Apa yang harus aku lakukan untuk menjadi bijaksana?" tanyanya.
Daun pohon itu bergemerisik, dan suara dalam yang bergema menjawab, "Kebijaksanaan bukanlah tentang mengetahui semua jawaban, tetapi tentang mengajukan pertanyaan yang tepat. Berusahalah untuk memahami, bukan untuk menghakimi. Dengarkan lebih banyak daripada berbicara. Dan di atas segalanya, tetaplah ingin tahu."
Elara mengangguk, kata kata pohon itu menempel dalam hatinya. Ia menghabiskan apa yang terasa seperti berjam jam menjelajahi hutan, mendengarkan bisikan pohon pohon dan mempelajari rahasia mereka.
Akhir Bahagia
Ketika hutan mulai memudar, suara Malam kembali. "Saatnya pulang, Elara. Tetapi ingatlah kisah kisah yang kau dengar malam ini. Mereka sekarang adalah bagian dari dirimu."
Elara merasakan tarikan lembut, dan dalam sekejap ia sudah kembali di ambang jendelanya, cahaya pagi pertama menyinari bukit bukit. Ia tersenyum, hatinya dipenuhi dengan keajaiban dan rasa syukur.
Sejak hari itu, Elara membawa pelajaran dari Malam bersamanya. Ia membagikan kisah kisah tersebut kepada teman teman dan keluarganya, menginspirasi mereka untuk melihat dunia dengan mata yang segar. Ia tumbuh menjadi seorang pelancong dan pendongeng, menjelajahi tanah jauh yang dulu hanya ia impikan dan membagikan kisah kisah mereka kepada siapa saja yang mau mendengarkan.
Dan setiap malam, saat ia menatap bintang bintang, ia akan membisik, "Terima kasih, Malam," mengetahui bahwa bisikannya telah mengubah hidupnya selamanya. 🌌✨